Ranah Minang

Ranah Hijau nan tacinto, nagari nan denai rindu

For you...

Download material such ebook and others, dont represent site author. If it feels useless and copyright owners are not satisfy about this publications, the material will be demolished ----------------------------------------------------materi download ebook dll, bukan mewakili opini pengelola situs - bila dirasa tidak bermanfaat & pihak pemegang copyright keberatan atas publikasi ini, materi akan segera dihapus

Ranah Minang

Ranah Hijau nan tacinto, nagari nan denai rindu, Sawah hijau bukik manjulang, lauik mambiru jo ombaknyo balari lari. Subuah jopatang surau jo masajik dak pernah kosong jo urang, tiok malam urang mangaji malantunkan ayat ayat cinto dari nan Kuaso. Ranah Minang, Ranah nan ta Cinto - Silahkan kalo mengirim postingan ke: dicabrio1.mail@blogger.com

Pengecutkah Urang Minang Kabaw...!?

Pituah Minang mangatokan;

“Karatau Madang di Ulu, Babuah Babungo Balun, Marantau Bujang Daulu dek di Rumah Baguno Balun.”

Pepatah tersebut menyerukan kepada anak muda Minangkabau untuk pergi merantau dan mencari ilmu pengetahuan, agar kelak kembali ke kampung halamannya untuk membangun negerinya.

“URANG MINANG SARANCAKNYO BALIAK KA ADAIK BASANDI SYARA’, SYARA’ BASANDI KITABULLAH”

 

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, wa syukurillah, laa hawla wa laa quwwata illa billah.

Salah satu permasalahan besar yang dihadapi orang Minang dewasa ini adalah; kehilangan yang paling berharga dari dirinya itu sendiri, yaitu jati diri! Suatu debilitas yang dapat mengakibatkan orang lain tidak lagi memandang kepada mereka, meskipun hanya dengan sebelah mata.

 

Demikianlah ”urang Minang” sekarang ini dalam proses perjalanan hidupnya. Mereka ibarat berada pada titik nadir (titik terendah) dari harkat diri dan kediriannya. Padahal selama ini mereka bangga menjadi ”urang Minang”. Mereka bangga karena meskipun jumlah mereka relatif sedikit dibandingkan suku-suku bangsa Indonesia lainnya (sekitar 3% dari jumlah peduduk), namun dalam banyak hal ”urang Minang” banyak yang menonjol serta menjadi pelopor. Mereka umumnya di anggap sebagai suku bangsa yang cerdas, gesit, tangkas, dan pandai memanfaatkan peluang. Disamping itu mereka juga pandai bergaul, bijak dalam bertutur-kata, serta tajam dalam berpikir. Sehingganya tidak heran jika ”urang Minang” cukup menonjol dalam bidang diplomasi, politik, jurnalistik, sastra, budaya maupun agama, termasuk juga handal di bidang bisnis dan perdagangan. Terbukti sejarah pergerakan kemerdekaan di sepanjang abad ke-20 memperlihatkan semua ini dan terukir dalam catatan sejarah pembangunan nasional itu sendiri. Subhanallah!

 

Namun sekarang, semua itu di anggap sebagai sesuatu yang sudah berlalu. Karena segala kebesaran dan kebanggaan itu hanyalah milik generasi sebelumnya. Jika diibaratkan kepada bangsa-bangsa yang pernah memiliki masa-masa kejayaannya di masa lalu, maka generasi muda sekarang di Minang Kabau tinggal ”nebeng” kebesaran masa lalu. Mereka boleh dibilang tidak lagi berprestasi seperti ”orang-orang” dulu, bahkan berada pada titik terendah dibandingkan tingkat pencapaian prestasi suku-suku bangsa lainnya di Indonesia.

 

Penurunan prestasi ”urang Minang” saat ini, lebih disebabkan karena mereka kalah dalam bertarung; lalu menjadi suku bangsa yang dikalahkan. Suku bangsa yang dikalahkan secara fisik, mental, dan spiritual, biasanya akan mengalami trauma yang berkelanjutan bahkan sampai bergenerasi, kecuali jika ”bangsa” itu segera bangkit kembali, seperti yang diperlihatkan oleh bangsa Jerman dan Jepang pasca Perang  Dunia Kedua. Bangsa Jerman dan Jepang hanya kalah dalam hal teknologi perang, tetapi tidak dalam hal intelegensia dan keberanian dalam menghadapi tantangan-tantangan.

 

Trauma kekalahan PRRI bagi ”urang Minang” kelihatannya membekas dalam, sementara hal yang sama tidak berdampak apa-apa bagi orang Manado, Bugis, Banjar, Batak, Melayu Riau, Jambi, serta Palembang,  yang secara langsung atau tidak langsung juga ikut terlibat dalam peristiwa pemberontakan PRRI—Permesta itu. Menurut saya ”Urang Minang” semestinya juga seperti daerah-daerah lainnya itu!? Artinya ya jelas aja daerah-daerah akan kalah melawan tentara pusat yang dilengkapi dengan persenjataan yang cukup. Tapi ingat! Secara fisik memang kalah, tapi kita menang TOTAL dalam ideologi. Buktinya, Komunis merupakan partai terlarang di Indonesia. Namun dengan kekalahan PRRI ”urang Minang” lalau merasa dirinya terhina dan terjajah, sehingga nyaris mereka tidak lagi bisa menegakkan kepala. Akibatnya, kebanggaan kepada diri dan dengan apa yang dimiliki menjadi sirna. Dan inilah yang diperlihatkan oleh ”urang Minang selama dan sepanjang OR-BA (1966) hingga hari ini, di mana mereka menjadi penakut, patuh dan penurut meski disesatkan sekali pun, naudzubillahimindzaliq!?

 

Pandangan Urang Mudo Kapado Adaik Minang!?

 

Dalam suasana globalisasi sekarang ini muncul suatu fenomena baru sebagai konsekuensi negatif globalisasi. Fenomena itu dikenal dengan nama global paradok, yaitu istilah dari kondisi yang mendapat dampak negatif langsung dari globalisasi. Hilangnya identitas individu atau jati diri dan kemudian berkembang menjadi krisis identitas pada masyarakat yang lebih luas, merupakan salah satu ciri utama dari global paradok. Sindrom global paradok bisa masuk ke dalam individu dan kelompok masyarakat manapun di dunia ini, termasuk ke dalam masyarakat Minangkabau yang merupakan bagian dari komunitas internasional. Sebagai bagian dari masyarakat internasional, masyarakat Minangkabau tentu akan selalu menghadapi dampak-dampak dari setiap perubahan yang terjadi.

 

Begitu juga dengan imbas global paradok yang sedang berlangsung sekarang. Secara sekilas dampak-dampak global paradok dalam masyarakat Minangkabau sudah banyak terlihat terutama dalam berinteraksi sosial masyarakat Minangkabau. Juga terlihat makin jauhnya mesyarakat Minangkabau dari nilai-nilai luhur agama dan adat merupakan indikasi mulai lenturnya identitas diri orang Minangkabau yang berfalsafah ”Adaik Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah”.

 

Masalah di atas tentu harus diantisipasi sesegera mungkin dalam upaya menyelamatkan generasi penerus dan adat Minangkabau agar tidak terbawa arus globalisasi yang semakin menyesatkan. Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam falsafah adat Minangkabau dan terus terpelihara dalam kehidupa masyarakat Minangkabau sejak dulu yang merupakan hasil dari harmonisasi unsur agama dan adat merupakan nilai-nilai yang sangat penting dijaga oleh masyarakat Minangkabau. Dengan demikian, pada dasarnya masyarakat Minangkabau telah punya senjata penangkal dampak-dampak negatif lagi menyesatkan dari globalisasi yang sedang dan terus berlangsung. Adat yang salalu seiring dengan nilai-nilai agama merupakan sumber moral ”nan indak lakang dek paneh, indak pulo lapuak dek hujan”, sehingga dengan selalu berada dalam koridor norma-norma tersebut akan bisa membentuk individu-individu yang berkepribadian kokoh sehingga mereka akan bisa menyaring pengaruh-pengaruh negatif dari manapun datangnya.

 

Akan tetapi kemudian yang harus dipertanyakan adalah sampai dimana nilai-nilai luhur tersebut tetap terpelihara dalam masyarakat dan sampai dimana pula upaya-upaya yang dilakukan untuk menjaga dan mewariskan nilai luhur kepada generasi selanjutnya agar dia tetap berkesinambungan. Norma-norma itu tentu tidak bisa bertahan dalam kehidupan sehari-hari tanpa ada upaya untuk melestarikan dan mewariskannya. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya mewariskan nilai-nilai luhur, norma-norma dan ajaran-ajaran yang baik itu secara baik pula dan berkesinambungan. Kendalanya itu terlihat di sini, realita yang ada adalah mandeknya pewarisan ini—untuk tidak mengatakan tidak ada. Pewarisan adat dan budaya serta nilai-nilai yang terkandung didalamnya kepada generasi selanjutnya akan meminimalisir dampak global paradok pada masyarakat Minang yang terkenal religius dan selalu dipayungi oleh adat dan syara’, insya Allah.

 

Untuk itu alangkah bijaksananya apabila upaya ini dikerjakan bersama-sama oleh yang terhormat para tokoh masyarakat, dan berbagai media di Sumatera Barat selaku penyambung lidah serta sarana komunikasinya.

 

Saketek saran ambo kapado dunsanak kasadonyo di ranah Minang nan dirahmati dek Allah SWT.

Pertamo     : Baliak-lah ka khittoh kito sebagai urang Minang nan sabana-bana mamacik ka ”Adaik Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah”.

Ka-duo        : Manga pulo kito sarupo urang ”buruak pandia”, maniru-niru gaya jo budaya urang lain nan alah jaleh-jaleh sasek jo manyasekkan!?

Ka-tigo        : Anti pulo-lah maaja anak-kemenakan babahaso ka-jakarta-jakarta-an! Kito kan punyo pulo bahaso surang nan idak kalah rancaknyo?! Manga kito musti marangeh...beko sabanta lai anak-anak tu lah gadang, inyo ka pandai surang se-tu-nyo. Inyo pandai dari sakolah, dari baraja, atau dari bagaua...

Ka-ampek   : Baliak-kan pulo namo-namo tampek kito di Sumatera Barat, kapado namonyo nan samulo sasuai jo pangucapannyo.

Ka-limo       : Indak ado bagai hebat-nyo Jakarta tu, atau ka basabuik bana rancak-nyo pulau bali tu!? Pacayo-lah dunsanak, nagari kito Minang Kabau jo urang-urang-nyo jawuah labiah hebat, jawuah labiah kayo, sarato jawuah pulo labiah rancaknyo!?

 

Dunsanak,

 

Apo dasar ambo manyampaikan limo saran di ateh!? Indak lain karano kasadonyo tu adolah titipan dari Allah SWT, nan alah menakdirkan jo malatakkan kito manjadi bagian dari bumi Minang! Bukan-nyo kito diparintah dek Allah SWT, untuk mamaliharo jo mamanfaatkan apo sajo nan alah dititipkan-Nyo kapado kito!? Jadi marilah kito baliak ka ”Khittoh”, karano jaan-jaan Galodo, Gampo, Pagaruyuang tabaka, Suliknyo hiduik, Masuaknyo faham nan aneh-aneh ka tanah Minang, sarato kejadian-kejadian Ingkar lainnyo, bisa jadi adolah peringatan sabana peringatan dari Allah SWT nan musti kito sadari, wallahu’alam!?

 

Saandainyo ada kato nan salah, sudilah kironyo ambo dibari maaf

Wabillahi Taufiq wal Hidayyah,

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

ICJ, 9 Oktober 2007.

Dari kami nan mancintoi Bundo kanduang jo Ranah Minang karano Allah SWT,

---Uda Dive jo Indonesian Commercial Jockey---

 

[Diambiak dari blok tetangga, untuak kosumsi basamo]

 

 

0 comments:

Post a Comment